Senin, 07 Juni 2010

PERBATASAN PAPUA NEW GUINIE DAN INDONESIA


 PERBATASAN PNG - INA
Ironisnya, kawasan perbatasan Indonesia Papua Nugini, ternyata juga menjadi tempat pelarian para pelanggar hukum baik dari wilayah Republik Indonesia (RI) maupun negara tetangga, Papua Nugini.

           Pemerhati hukum dan hubungan internasional, Johnias Yarona, di Jayapura mengatakan.ada sejumlah faktor yang menyebabkan daerah perbatasan RI – Papua Nugini dianggap “ideal” bagi para pelanggar hukum untuk melindungi diri dari kejaran hukum. “Akses transportasi dari dan menuju perbatasan masih sangat minim, sehingga daerah ini memang kondusif untuk tempat berlindung bagi para pelaku kriminal dari kedua negara,” kata Johnias.


           Selain itu, jumlah aparat keamanan yang belum proporsional jika dibandingkan dengan luas kawasan perbatasan juga menjadi celah dimanfaatkan para pelaku kejahatan meloloskan diri.
Johnias mengatakan, kondisi ekonomi dan sosial di perbatasan dan sekitarnya juga menjadi penyebab tingginya angka kriminalitas, seperti rendahnya tingkat pendidikan, pendapatan penduduk dan ketiadaan lapangan pekerjaan yang layak.

“Untuk menyelesaikan masalah tersebut, pemerintah perlu melakukan pengelolaan dengan pendekatan nontradisional dimana kerja sama bilateral antara pemerintah RI dan Papua Nugini perlu lebih menekankan pada pembangunan masyarakat dan keamanan manusia dari segala bentuk tindak kekerasan,” ujarnya.
Anggota DPD asal Papua Paulus Yohanes Sumino dalam talk show DPD “Urgensi Menata Perbatasan NKRI” di Press Room DPD, Senayan, Jakarta,Jumat kemarin mengatakan, seringkali daerah perbatasan juga dianggap rawan persoalan politik.

“Papua sering dianggap memiliki persoalan dua negara. Padahal di masyarakat tidak ada masalah. Mereka tidak punya masalah politik lintas batas,biasa-biasa saja,” ungkapnya.
Pengamat politik LIPI Siti Zuhro menilai masalah perbatasan adalah masalah lama yang penyelesaiannya seringkali ditunda-tunda.Bukan hanya persoalan militer, menurutnya justru yang harus dikedepankan masalah non militernya, seperti masalah etnis dan kesejahteraan.

Soal kesejahteraan inilah yang kemudian dikupas oleh Mantan Menteri Percepatan Pembangunan Kawasan Timur Indonesia, Manuel Kaisiepo. Seperti dilansir Antara, Kaisiepo menegaskan pemerintah harus menata wilayah perbatasan RI dengan Papua Nugini (PNG) yang menjadi beranda Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) demi kesejahteraan rakyat.

“Kalau dulu, wilayah perbatasan itu dipandang sebagai halaman belakang Indonesia, kini pandangan itu harus diubah menjadi beranda atau halaman depan Indonesia Raya,” kata Manuel Kaisiepo.
Menurutnya, wilayah perbatasan harus ditangani dan ditata secara serius dari berbagai aspek antara lain, ekonomi, politik, sosial-budaya, pertahanan dan keamanan. Penataan wilayah perbatasan itu tidak saja antara Provinsi Papua dan Papua Barat dengan PNG, Australia dan negara-negara di kawasan Pasifik lainnya, tetapi juga perbatasan provinsi-provinsi lain di Indonesia dengan negara tetangga.

Kelemahan penataan wilayah perbatasan Indonesia selama ini, menurut dia, adalah tidak adanya satu badan khusus di tingkat nasional maupun daerah untuk menangani perbatasan itu sendiri.
Dengan demikian, setiap instansi atau departemen melakukan kegiatan di perbatasan secara sendiri-sendiri dan sporadis serta koordinasinya pun tidak berjalan dengan baik.  “Pendekatan kita di perbatasan, masih didominasi dari segi keamanan dan yang berperan di sana adalah aparat keamanan, TNI maupun Polri,” ujarnya.
          Pendekatan keamanan di perbatasan, lanjut Manuel Kaisiepo, harus diimbangi juga dengan pendekatan kesejahteraan. Banyak daerah di Indonesia ini, kata dia, berbatasan dengan negara tetangga dengan problem masing-masing daerah yang berbeda, ada daerah perbatasan yang punya masalah berat di bidang politik, dan ada pula di bidang ekonomi, semua ini harus ditangani secara sungguh-sungguh.

Dr. J. R. Mansoben MA, pengajar Universitas Cenderawasih (Uncen) mengatakan, selain fokus pada kesejahteraan, unsur kearifan lokal dalam kaitannya dengan pemanfaatan Sumber Daya Alam (SDA) diwilayah perbatasan juga harus diperhatikan.

“Pemahaman ini menjadi landasan bagi perencanaan model pengembangan masyarakat yang tepat, terutama pada daerah perbatasan RI-PNG,” katanya. Walaupun banyak perbedaan antara daerah satu dengan yang lain di wilayah perbatasan, namun ada satu kesamaan dalam aktivitas ekonomi mereka,yaitu bersifat ekonomi subsistem.
Berdasarkan kondisi-kondisi tersebut, Mansoben menjelaskan bahwa kebijakan pengembangan masyarakat di sepanjang daerah perbatasan RI-PNG berbasis SDA hendaknya harus memihak kepada penduduk setempat sekaligus ramah lingkungan.
Model pengembangan sebaiknya tidak berskala besar dengan menggunakan teknologi canggih dan manajemen yang kompleks sebab masyarakat belum siap untuk terlibat di dalamnya.
Model pengembangan yang disarankan adalah yang berskala kecil dengan penggunaan teknologi tepat guna yang cepat dan mudah dikuasai oleh masyarakat setempat.
Model pengembangan ini dibedakan berdasarkan ekologi pantai, dataran rendah serta untuk daerah pegunungan tinggi.
Oleh karena program-program pengembangan yang akan dilaksanakan berasal dari luar dan belum dikenal masyarakat, maka perlu dilakukan pendampingan secara utuh tanpa terputus.

“Agar proses pendampingan berjalan baik maka para pendamping harus dibekali dengan pemahaman tentang masyarakat dimana mereka akan melakukan tugasnya,” tukasnya.
Panjang garis perbatasan RI-Papua Nugini mencapai kurang lebih 760 kilometer. Dimulai dari Skouw, Jayapura di bagian utara hingga berakhir di muara Sungai Bensbach, Kabupaten Merauke di bagian selatan.
Di lokasi tertentu sepanjang garis perbatasan, ditempatkan pos-pos penjaga perbatasan yang sudah disepakati berdasarkan tingkat aktivitas pelintas batas yang dilakukan warga setempat.
Pos-pos tersebut diantaranya terletak di daerah Skouw, Wembi, Waris dan Senggi dalam wilayah Kota Jayapura.
Menjaga batas dengan tingkat kerawanan tinggi memang memerlukan tanggungjawab besar. Batas darat Indonesia dan Papua New Guinea sendiri didasarkan pada perjanjian Indonesia dan Australia mengenai garis-garis batas Indonesia dan Papua Nugini.Ditandatangani pada Tanggal 12 Februari 1973 di Jakarta.
Pemerintah selanjutnya meratifikasi perjanjian tersebut dengan membentuk Undang-undang Nomor 6 tahun 1973. Namun sampai saat ini perjanjian bilateral tersebut belum menjadi landasan legal bagi survey dan demarkasi batas darat antara kedua negara.

           Sebagai bagian dari perjanjian bilateral 1973, telah didirikan 14 pilar MM di sepanjang perbatasan Indonesia dan Papua Nugini. Titik-titik tersebut ada di 141° Bujur Timur, mulai dari pilar MM1 sampai dengan MM10. Selanjutnya mulai dari pilar MM11 sampai dengan pilar MM14 berada pada meridian 141° 01’ 10". Pilar MM10 dan MM11 batas kedua negara mengikuti Thalweg dari sungai Fly.

Selain ke 14 pilar MM, antara tahun 1983- 1991, sesuai amanat Pasal 9 Perjanjian 1973 antara Indonesia dengan Papua Nugini, telah didirikan 38 Pilar MM baru. Sehingga sampai saat ini telah berdiri 52 pilar MM di sepanjang garis perbatasan. Penambahan 38 pilar MM baru tersebut saat ini masih tertuang dalam Deklarasi Bersama (Joint declaration) yang ditandatangani oleh otoritas survey and mapping kedua pemerintahan.
(JUBI/Jerry Omona/Dari Berbagai Sumber)


http://www.tabloidjubi.com/index.php/index-berita/polhukam/5110-menakar-sejahtera-di-batas-ri-png

COMMENTS :

Don't Spam Here 1

BAGAIMANA DENGANPEREDARAN GANJA DI PERBATASAN RI-PNG ? DAN BAGAIMANA SOLUSI DARI PEMERINTAH ?

Anonim mengatakan...
on 

Posting Komentar